MAKNA TAJARUD | Ust. Musyafa Abdul Rahim, Lc MA
Pada suatu
hari, saat mengajar kelas di sebuah kelas, sampailah pelajaran Fiqih Da’wah
pada istilah tadarruj.
Saya tanyakan
kepada mereka: “Apa makna tadarruj?”.
Jawaban mereka
berbeda, namun substansinya sama. Istilahnya ikhtilaful ‘ibarat likhtilafil
I’tibarat (perbedaan bahasa
ungkapan karena perbedaan sudut pandang). Istilah lainnya adalah ikhtilaf tanawwu’ la ikhtilaf
tadhad (keragaman, bukan
kontradiktif).
Sebagian mahasiswa
mengatakan bahwa tadarruj bermakna: bertahap. Sebagian yang lain mengatakan:
sedikit demi sedikit. Yang lainnya lagi mengatakan: gradual. Dan ada juga yang
mengatakan: langkah demi langkah.
Lalu saya
tanyakan kepada mereka: “manakah dari makna-makna tadi yang lebih memberi
gambaran secara operasional?”
Masing-masing pemberi jawaban mencoba menggambarkan jawabannya secara
operasional.
“Bertahap”
maksudnya adalah kalau kita hendak menyelesaikan suatu perjalanan panjang, maka
kita akan membagi perjalanan panjang tersebut dalam beberapa tahapan, dan untuk
mencapai tujuan akhir dari perjalanan, kita harus melewati semua tahapan yang
ada. Pada setiap tahapan tersebut mungkin kita rehat, makan, shalat dan
sebagainya, istilahnya adalah tazawwud (menambah perbekalan) agar mampu
melanjutkan perjalanan pada tahapan berikutnya. Kendaraan kita pun perlu
mendapatkan perlakukan yang sama.
“bagus” kata saya.
“Sedikit demi
sedikit” ibaratnya seperti makan sepiring nasi. Tentunya tidak kita telan
sekaligus, tetapi, kita makan sesuap demi sesuap, kita kunyah dengan baik
suapan itu, baru kita menelannya. Ambil lagi suapan ke dua, ketiga, keempat dan
seterusnya. Begini penjelasan dari yang lainnya.
“boleh juga”
kata saya. “suka makan ya?” komentar saya berikutnya. Yang dikomentari
senyum-senyum saja.
“gradual” itu
istilah Inggris, maksudnya adalah menyelesaikan sesuatu grad demi grad, langkah
demi langkah, tahap demi tahap, selanjutnya permisalannya sama dengan
penjelasan saudara sebelumnya.
“oke” kata
saya.
“Tahukah kalian
bahwa kata ‘tadarruj’ ada kaitan erat dengan kata ‘darajah’ (دَرَجَة) yang secara
bahasa berarti ‘satu tingkatan anak tangga’”. Saya mencoba mengajak mereka
untuk menyelami makna tadarruj.
“Jadi, kata tadarruj paling tidak menggambarkan dua hal
sekaligus, yaitu:
- Gambaran dari ‘tahapan’ atau ‘sedikit demi sedikit’ atau ‘gradual’ atau ‘langkah demi langkah’ di satu sisi, dan
- Suasana jalan yang menanjak dari bawah ke atas sebagaimana tanjakan sebuah tangga yang terdiri dari beberapa anak tangga”.
“Perlu juga
kita ketahui, ada bermacam-macam tangga yang pernah kita temui; ada tangga
sebuah bangunan yang antara anak tangga satu ke anak tangga dua menggunakan
ukuran standard, yaitu 15 cm, sehingga siapapun yang menaiki tangga standard
ini akan merasakan kenyamanan. Namun ada juga yang tidak standard, mungkin bisa
25 sampai 30 centimeter, sehingga untuk menaikinya kita perlu mengangkat kaki
tinggi-tinggi, sehingga membuat kita cepat lelah dan kecapekan”.
“Ada juga yang
dalam membuat lebar anak tangganya standard, sehingga satu anak tangga cukup
dengan satu ayunan langkah kaki, namun ada juga yang dalam membuat lebar anak
tangga tidak standard, sehingga untuk menyelesaikan satu anak tangga diperlukan
dua langkah”. Demikian penjelasan saya lebih jauh.
Kerja-kerja
dakwah itu mirip dengan manaiki tangga, sehingga sangat tepat kalau ada istilah
tadarruj ini. Namun, paling tidak ada dua hal yang perlu dijelaskan di
sini, yaitu:
- Tadarruj dalam da’wah bukanlah tadarruj yang bersifat fisik. Ia adalah seseuatu yang bersifat ma’nawi atau non fisik. Oleh karena itu, ia tidak bersifat kasat mata yang semua orang dengan mudah dapat mengukur dan menilainya. Untuk membuat dan mengukurnya diperlukan sudut pandang (nazhrah) yang akurat dari orang-orang yang berpengalaman (khabir). Dan kalau hal ini dilakukan melalui ijtihad jama’i akan semakin baik.
- Bisa dipastikan bahwa bahasa ‘target’ pada setiap darajah pastilah berbeda. Sekedar contoh; kalau tadarruj yang kita maksud terdiri dari lima darajah, dan pada darajah kelima – misalnya – adalah: ‘tercapainya pembentukan 5 kelas untuk setiap tingkatan pendidikan SLTA’, bisa dipastikan bahwa pada darajah (anak tangga 1) tentulah ‘target’-nya tidaklah demikian. Dan sudah tentu juga bahasa khithab (wacana) pada darajah 1 pastilah tidak sama dengan darajah 2, 3, 4 dan 5.
Dua hal ini
perlu kita pahami dengan baik, sebab, sangat mungkin terjadi perbedaan pada
keduanya;
1.
Sangat mungkin berbeda dalam memandang (nazhrah) darajah-darajah ini.
Istilahnya, terdapat wijhat nazhar (lebih dari satu sudut pandang) dalam
masalah ini dari sisi:
- Apa target-target yang harus dibunyikan dalam setiap darajah?
- Berapa lama kita harus berada pada setiap darajah?
- Bolehkah terjadi ‘lompatan’ dalam darajah-darajah ini, dalam arti, mungkin atau tidak dua darajah kita lampaui sekaligus?
- Dan sisi-sisi lainnya.
Jika hal ini
terjadi, untuk menyelesaikannya, bisa dengan cara: فَاسْأَلْ بِهِ خَبِيْرًا (tanyakan
kepada ahlinya), atau keputusan dari sebuah syura yang mempergunakan pendekatan
ijtihad jama’i atau gabungan dari keduanya sekaligus.
2.
Sering sekali, terutama dari almutahammisin (yang terlalu bersemangat) menuntut
agar para aktifis dakwah mendendangkan kalimat yang sudah ditetapkan sebagai
target jauh, padahal posisi da’wah baru berada di darajah1, padahal mestinya
aktifis da’wah menggunakan prinsip: ‘think globally act locally’, dalam arti,
dalam berfikir bolehlah berfikir besar dan global, namun, saat melakukan aksi,
hendaklah seorang aktifis bersikap realistis (waqi’i) dan lokal di mana para
aktifis berada, agar ‘tidak mimpi di siang bolong’.
Wallahu a’lam
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan pesan Anda