TIGA MODEL PEMILIHAN KHALIFAH RASYIDAH
Oleh: Harun Husein
Sumber : Republika.co.id
Hingga wafatnya, Nabi Muhammad SAW tidak mewasiatkan siapa penggantinya. Karena
itu, pemilihan
pengganti Nabi sebagai kepala negara (khalifah ar-rasul)
dilakukan melalui musyawarah di antara para sahabat Nabi.
Secara umum ada tiga model pemilihan yang diterapkan di era khilafah rasyidah
atau khalifah yang adil dan bijaksana. Berikut faktanya:
Pemilihan Abu Bakar Ash‐Shiddiq
(Model Pertama)
Khalifah dipilih lewat musyawarah wakil-wakil dari kalangan Muhajirin dan
Anshar secara terbatas (baiat in iqad) pada hari pertama Nabi wafat bertempat
di Tsaqifah Bani Sai’dah (kediaman Sa’ad bin Ubadah di Madinah), kemudian
dilanjutkan dengan bai’at ta’at di Masjid Nawabi pada hari kedua Nabi wafat.
Kronologinya sebagai berikut:
Tahap I
* Saat Nabi wafat, terjadi kegoncangan. Mulai muncul tanda-tanda perpecahan
kepemimpinan politik. Antara lain munculnya pendapat bahwa kalangan Anshar
mengangkat khalifah sendiri, begitupun dengan kalangan Muhajirin yang juga
mengangkat khalifah sendiri. Sementara itu, di sebagian kawasan di jazirah Arab
mulai memperlihatkan tanda-tanda memisahkan diri, bahkan muncul sejumlah orang
yang mengaku sebagai nabi.
* Pada hari wafatnya Nabi, Umar bersama Abu bakar serta kaum Muhajirin lainnya
menuju tempat kaum Anshar berkumpul di Tsaqifah Bani Sa’idah. Saat tiba di
sana, berdiri juru bicara dari kalangan Anshar yang menyatakan muncul
tanda-tanda kaum Muhajirin akan mendominasi mereka di tempat tinggal mereka
(Madinah), dan mengambil kekuasaan dari kaum Anshar.
Saat itu dari kalangan Anshar juga muncul usulan agar kaum Anshar
memilih khalifah sendiri dan orang-orang Quraisy (Muhajirin)
juga memilih khalifah sendiri, yang disampaikan dengan ungkapan “ana juzailuha
al-muhakkak wauzaiquha almurajjab,” yang berarti akulah pemimpin yang tertingi.
Konon yang berkata demikian adalah al-Hubab bin al-Munzir.
* Sebuah
riwayat menyatakan Abu Bakar saat itu menyampaikan, “Kalian mengetahui bahwa
Rasulullah pernah bersabda, ‘Andai saja manusia menempuh jalan di satu lembah
sementara kaum Anshar menempuh satu jalan, maka pasti akan kutempuh jalan kaum
Anshar’. Dan engkau telah mengetahui wahai Sa’ad (Sa’ad bin Ubadah) bahwa
Rasulullah SAW pernah bersabda —saat itu engkau sedang duduk- ‘Sesungguhnya
kaum Quraisy-lah yang paling berhak menjadi pemimpin. Kebaikan manusia akan
mengikuti kebaikan yang ada pada mereka dan kejelekan manusia akan pula
mengikuti kejelakan yang ada pada mereka’.
Maka Sa’ad berkata, ‘Engkau benar, kami hanyalah menjadi wazir dan kalianlah
yang menjadi Amir’.”
* Riwayat lain menyebutkan saat itu Abu Bakar juga mengatakan dia rela jika
urusan khalifah diserahkan kepada satu dari dua orang (Umar dan Abu Ubaidah bin
al-Jarrah). Saat itu, muncul keributan. Untuk mencegah perselisihan, Umar
kemudian berkata kepada Abu Bakar, “Berikan tanganmu wahai Abu Bakar.” Maka Abu
Bakar memberikan tangannya dan Umar segera membaiatnya, diikuti seluruh kaum
Muhajirin, kemudian kaum Anshar.
* Riwayat lain menyatakan Umar berkata kepada yang hadir di Tsaqifah Bani
Sa’idah, “Yang paling berhak menggantikan Rasulullah SAW adalah sahabatnya yang
menyertainya dalam gua (Gua Hira, saat permulaan Hijra –Red).
Dialah Abu Bakar yang selalu terdepan dan paling diutamakan.
Kemudian segera kutarik tangannya dan ternyata ada seorang Anshar (sebuah
riwayat menyatakan dia adalah Basyir bin Sa’ad, ayah an-Nukman bin Basyir) yang
lebih dahulu menariknya dan membaiatnya sebelum aku sempat meraih tangannya.
Setelah itu baru aku membaiatnya dengan tanganku yang kemudian diikuti oleh
orang ramai.”
* Kitab Fathur ar-Rabbani menyatakan soal bai’at itu, Abu Bakar
mengatakan menerima pembai’atan itu karena takut fitnah akan datang yaitu
murtadnya orang-orang Arab setelah wafatnya Nabi.
* Beberapa saat sebelum wafatnya, Umar men jelaskan hal ihwal bai’at kepada Abu
Bakar itu di Masjid Nabawi. “Demi Allah, kami tidak pernah menemui perkara yang
lebih besar dari perkara bai’at terhadap Abu Bakar. Kami sangat takut jika kami
tinggalkan mereka tanpa ada yang dibai’at, maka mereka (Anshar) kembali membuat
bai’at.
Jika seperti itu kondisinya kami harus memilih antara mematuhi bai’at mereka
padahal kami tidak merelakannya, atau menentang bai’at mereka yang pasti akan
menimbulkan kehancuran. Maka, barang siapa membai’at Amir tanpa musyawarah
lebih dahulu, bai’atnya dianggap tidak sah. Dan tidak ada bai’at terhadap orang
yang mengangkat bai’at terhadapnya, keduanya harus
dibunuh.”
Tahap II
* Setelah pembai’atan di Tsaqifah Bani Sa’idah, keesokan harinya
Abu Bakar dibai’at secara umum (bai’at ta’at) di masjid. Para sahabat yang
sebelumnya hadir di Tsaqifah juga hadir di masjid.
* Usai bai’at umum itulah Abu Bakar menyampaikan pidatonya yang terkenal:
“…sesungguhnya aku telah dipilih sebagai pimpinan atas kalian, dan bukanlah aku
yang terbaik. Maka jika aku berbuat kebaikan bantulah aku, dan jika aku
bertindak keliru maka luruskanlah aku.
Kejujuran adalah amanah, sementara dusta adalah suatu pengkhinatan.
Orang yang lemah di antara kalian sesung guhnya kuat di sisiku hingga aku dapat
mengembalikan haknya kepadanya Insya Allah. Sebaliknya siapa yang kuat di
antara kalian maka dialah yang lemah di sisiku hingga aku akan mengambil
darinya hak milik orang lain yang diambilnya.
Tidaklah suatu kaum me ninggalkan jihad di jalan Allah kecuali Allah akan
timpakan kepada mereka kehinaan, dan tidaklah suatu kekejian tersebar di tengah
suatu kaum kecuali adzab Allah akan di timpakan kepada seluruh kaum tersebut.
Patuhilah aku selama aku mematuhi Allah dan RasulNya. Tetapi jika aku tidak
mematuhi keduanya maka tiada kewajiban taat atas kalian terhadapku. Sekarang
berdirilah kalian untuk melaksanakan shalat semoga Allah merahmati kalian.”
Catatan:
* Soal tidak hadirnya Ali Bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, dan lain-lain di
Tsaqifah Bani Saidah, ada yang menyebutnya sebagai pemboikotan pemilihan Abu
Bakar. Namun, belakangan isu pemboikotan itu terbantahkan.
* Saat pembai’atan terjadi, Ali, Zubair, dan lain-lain berada di rumah
Fathimah. Zubair menuturkan ‘Kami tidak merasa marah kecuali karena kami tidak
diikutkan dalam musyawarah pemilihan ka lian, tetapi kami tetap berpandangan
bahwa Abu Bakar-lah yang paling pantas menjadi pemimpin. Dialah orang yang menemani
Rasulullah bersembunyi di dalam gua. Kita telah mengetahui kemuliaan dan
kebaikannya. Dialah yang diperin tahkan Rasulullah untuk menjadi imam shalat
manusia ketika Rasulullah hidup.
* Saat Abu Bakar dibai’at di masjid, Abu Bakar memerintahkan mencari Ali dan
Zubair, yang kemudian keduanya datang dan membai’at Abu Bakar. Ali tidak pernah
memisahkan diri dari Abu Bakar, dan selalu shalat di belakangnya.
* Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Nasa’i meriwayatkan bahwa Ali memperbaharui bai’atnya kepada Abu Bakar setelah wafatnya
Fathimah, enam bulan setelah Rasul wafat.
Pemilihan
Umar bin Khattab
(Model Kedua)
Pergantian khalifah lewat surat wasiat yang dibacakan ke hadapan kaum Muslimin,
kemudian kaum Muslim memberikan bai’at. Berikut kronologinya:
* Menjelang wafatnya, Abu Bakar mewasiatkan jabatan khalifah kepada Umar. Yang
menuliskan wasiat itu adalah Utsman Bin Affan. Setelah itu wasiat tersebut
dibacakan ke hadapan kaum Muslimin dan mereka mengakuinya serta tunduk dan
mematuhi wasiat tersebut.
* Umar adalah yang pertama bergelar amirul mukminin. Konon yang pertama
memanggilnya demikian adalah Al-Mughirah bin Syu’bah.
* Imam Bukhari menulis bahwa saat Umar terbaring menjelang wafat, usai ditikam
oleh Abu Lu’luah, ada yang menyatakan kepada Umar, “Tidakkah engkau menunjuk
penggantimu wahai amirul mukminin.”
Umar menjawab, “Jika aku memilih penggantiku sebagai khalifah maka
sesungguhnya hal itu telah dilakukan oleh orang yang lebih baik dariku, yaitu
Abu Bakar. Dan jika aku tidak menunjuk pengganti, maka hal itu telah dilakukan
juga oleh orang yang lebih baik dariku, yaitu Rasulullah.”
* Umar menyatakan, “Aku tidak mendapati ada orang yang lebih berhak memegang
urusan ini (menjadi khalifah) selain dari enam orang yang Rasulullah rela atas
mereka ketika wafatnya.” Keenam orang itu adalah Utsman bin Affan, Ali bin Abi
Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan
Abdurrahman bin ‘Auf. Mereka inilah yang menjadi anggota majelis syura untuk
memilih khalifah.
* Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa al-Nihayah menyatakan dengan cara Umar
menggabungkan apa yang dilakukan Rasulullah yaitu tidak menjatuhkan pilihan dan
cara Abu Bakar yang mewasiatkan penggantinya, dan menyerahkan perkara
pengangkatan khalifah kepada sebuah majelis syura.
* Umar tidak menunjuk Sa’id bin Zaid sebagai anggota majelis syura, sebab dia
berasal dari kabilah umar dan dikhawatirkan dia kelak terpilih disebabkan
kekerabatannya, namun menyatakan dia menjadi saksi atas proses yang dilakukan
panitia enam tersebut.
Sa’id bin Zaid adalah satu dari sepuluh orang yang dijamin
Rasulullah masuk surga (sembilan lainnya adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali,
Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdurrahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Thalhah bin
Abdullah, dan Abu Ubaidillah bin Jarrah).
* Sebuah riwayat menyebutkan Umar juga mengecualikan anaknya, Abdullah bin
Umar, dari hak terpilih sebagai khalifah, karena khawatir jabatan khalifah menjadi jabatan turun-temurun.
Pemilihan Utsman
bin Affan
(Model Ketiga)
Tahap I
Pergantian
khalifah melalui sebuah majelis syura beranggotakan enam orang. Berikut
prosesnya:
* Umar
menunjuk Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah,
Az-Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Abdur rah man bin ‘Auf, untuk
bermusyawarah.
*
Dalam musyawarah, nama kandidat me ngerucut menjadi tiga yaitu Utsman, Ali, dan
Abdurrahman bin Auf. Itu terjadi setelah tiga anggota formatur memilih tiga
lainnya. Zubair memilih Ali, Thalhah memilih Utsman, se dangkan Sa’ad memilih
Abdurrahman bin Auf.
*
Selanjutnya, nama calon mengerucut lagi men jadi dua, setelah Abdurrahman bin
Auf melepaskan haknya untuk dipilih. Meski demikian, Abdurrahmanlah yang
menentukan siapa khalifah terpilih. “Aku akan berusaha untuk menyerahkan
jabatan tersebut kepada salah seorang di antara kalian berdua dengan cara yang
benar,” kata Abdurrahman kepada Utsman dan Ali.
*
Selanjutnya, di hadapan Abdurrahman, Utsman dan Ali menyampaikan khutbah
(semacam kampanye –Red) tentang keistimewaannya masing-masing dan berjanji jika
mendapat jabatan tersebut tidak akan menyimpang, dan jika ternyata tidak
mendapatkannya maka ia akan mendengar dan menaati orang yang dipilih.
* Tiga
hari sejak pertemuan itu, Abdurrahman dikabarkan banyak shalat malam dan
berdoa, serta menanyakan pendapat sejumlah kalangan tentang kedua kandidat
(semacam survei–Red).
* Di
hari keempat, Abdurrahman meminta keponakannya, Al-Miswar bin Makhramah
memanggil Utsman dan Ali. Miswar bertanya, siapa yang harus dipanggil terlebih
dahulu. Abdurrahman menjawab, “Terserah padamu.”
*
Miswar lalu menemui Ali. Ali bertanya, “Apakah ia juga memanggil yang lain
selainku?” Miswar menjawab, “Benar”. Ali bertanya lagi, “Siapa yang ia panggil
pertama kali?” Miswar menjawab, “Ia katakan terserah padamu dan akhirnya aku
mendatangimu.”
*
Miswar dan Ali kemudian ke rumah Utsman. Miswar masuk ke dalam rumah, sedangkan
Ali duduk menunggu. Saat itu menjelang fajar, dan Utsman sedang shalat witir.
Kepada Miswar, Utsman juga menanyakan pertanyaan yang sama seperti yang ditanyakan
Ali.
* Saat
Utsman dan Ali datang, Abdurrahman menga takan,”Sesungguhnya aku telah bertanya
kepada masyarakat tentang kalian berdua dan tidak seorang pun dari mereka yang lebih
mengistimewakan [satu di antara] kalian berdua.”
Tahap II
*
Abdurrahman kemudian membawa Utsman dan Ali ke Masjid Nabawi. Di masjid, kaum
Muhajirin dan Anshar telah berkumpul untuk shalat subuh. Masjid penuh sesak.
* Usai
shalat, Abdurrahman naik mimbar dan berpidato, “Wahai sekalian ma nusia! Aku
telah menanyakan keinginan kalian baik secara pribadi maupun di depan umum,
namun aku tidak dapati seorang pun yang condong kepada salah seorang dari
mereka berdua baik Ali maupun Utsman. “
*
Kemudian, Abdurrahman memanggil Ali, dan memegang tangannya sambil ber kata,
“Apakah engkau mau dibai’at un tuk tetap setia menjalankan alquran, Sunnah
NabiNya dan apa yang telah dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar?” Ali menjawab,
“Tidak, akan tetapi akan aku jalankan sesuai dengan kemampuanku.”
*
Mendengar jawaban Ali, Abdurrahman melepaskan pegangan tangannya, lalu
memanggil Utsman dan bertanya, “Apakah engkau mau dibai’at untuk tetap setia
menjalankan Alquran, Sunnah Nabi-Nya dan apa yang telah dilakukan oleh Abu
Bakar dan Umar?” Utsman menjawab, “Ya!”
*
Mendengar jawaban Utsman, Abdur rahman menengadahkan kepalanya ke atap masjid
sambil memegang tangan Utsman dan berkata,”Ya Allah dengar kanlah dan
saksikanlah, ya Allah de ngarkanlah dan saksikanlah, ya Allah dengarkanlah dan
saksikanlah, ya Allah sesungguhnya aku telah alihkan beban yang ada di pundakku
ke pundak Utsman bin Affan”.
*
Maka, orang-orang pun berdesakdesakan untuk membai’at Utsman di bawah mimbar.
Ada riwayat yang menyatakan Ali adalah orang yang pertama membai’at Utsman,
riwayat lainnya menyebutkan Ali adalah orang yang terakhir membai’at Utsman.
Pemilihan Ali bin
Abi Thalib
Pergantian
khalifah kembali ke model pertama. Sebab, Utsman yang terbunuh, tidak
menyampaikan wasiat seperti Abu Bakar, juga tidak menunjuk formatur seperti
Umar. Berikut prosesnya:
*
Setelah Utsman terbunuh, kaum mus limin mendatangi Ali untuk membai’at nya. Ali
menolak bai’at tersebut dan menghindar ke rumah milik Bani Amru bin Mabdzul,
seorang Anshar. Beliau menutup pintu rumah.
* Kaum
Muslimin kemudian membawa serta Thalhah dan Zubair. Mereka berkata,
“Sesungguhnya daulah ini tidak akan bertahan tanpa amir.” Mereka terus mendesak
hingga akhirnya Ali bersedia menerimanya.
*
Sebuah riwayat menyebut orang yang pertama membai’atnya adalah Thalhah dengan
tangan kanannya yang cacat sewaktu melindungi Rasulullah SAW pada peperangan
Uhud.
* Ali
kemudian keluar menuju masjid lalu naik ke atas mimbar dengan mengenakan kain
sarung dan sorban sambil menenteng sandal dan bertelekan pada busur. Kemudian,
segenap Muslimin yang hadir membai’at beliau.
*
Riwayat lain dari Al-Waqidi menyebutkan “Orang-orang di Ma dinah membai’at Ali.
Namun tujuh orang menarik diri dan tidak ikut berbai’at. Mereka adalah Abdullah
bin Umar, Sa’ad bin Abi Waqqash, Shuheib, Zaid bin Tsabit, Muhammad bin
Maslamah, Salamah bin Salaamah bin Waqsy dan Usamah bin Zaid. Dan tidak ada
seorang sahabat Ansharpun yang tertinggal, mereka semua ikut berbai’at sejauh
penge tahuan kami.”
*
Riwayat lain dari Saif bin Umar menceritakan dari sejumlah gurunya bahwa mereka
berkata, “Selama lima hari setelah terbunuhnya Utsman kota Ma dinah dipimpin
sementara oleh al-Ghafiqi bin Harb, mereka mencari orang yang bersedia
memimpin. Penduduk Mesir (yang semula datang ke Madinah untuk mengepung Utsman)
mendesak Ali, sedang beliau menghindar dari mereka ke sebuah rumah.
Penduduk Kufah mencari
az-Zubair tapi mereka tidak menemukannya. Penduduk Bashrah meminta Thalhah,
tapi ia tidak bersedia.
Maka
mereka pun berkata, ‘Kami tidak akan mengangkat salah satu dari tiga orang
ini.’ Mereka menemui Sa’ad bin Abi Waq qash . Mereka berkata, ‘Sesungguhnya
engkau termasuk salah seorang anggota Majelis Syura’.
Namun
Sa’ad tidak memenuhi permintaan mereka. Kemudian mereka menemui Abdullah bin
Umar, tapi beliau pun menolak tawaran mereka. Merekapun bingung, lantas mereka
berkata, ‘Jika kita pulang ke daerah masing-masing dengan membawa kabar
terbunuhnya Utsman tanpa ada yang menggantikan posisinya, manusia akan
berselisih tentang urusan ini dan kita tidak akan selamat. Mereka kembali
menemui Ali dan memaksanya di bai’at.
Al-Asytar
an-Nak ha’i meraih tangan Ali dan mem bai’atnya kemudian orang-orang pun ikut
membai’at beliau. Penduduk Kufah mengatakan bahwasanya yang pertama kali
membai’at Ali adalah al-Asytar an-Nakha’i. Peristiwa itu terjadi pada hari Kamis
24 Dzulhijjah. Itu terjadi setelah orang-orang terus mendesak beliau. Mereka
semua berkata, “Tidak ada yang pantas memegangnya kecuali Ali.”
Keesokan
harinya pada hari Jumat, Ali naik ke atas mimbar. Orang-orang yang belum
membai’at beliau kemarin berbondong-bondong membai’at beliau. Orang pertama
yang membai’at beliau saat itu adalah Thalhah kemudian Zubair. Bai’at ini
terjadi pada hari Jum’at 25 Dzhulhijjah tahun 35 H.
* Imam
Ahmad meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Muhammad bin al-Hanafiyah, ia
berkata, “Aku bersama Ali saat Utsman dikepung, lalu datanglah seorang lelaki
dan berkata, ‘Sesungguhnya Amirul Mukminin telah terbunuh.’ Kemudian datang
lagi lelaki lain dan berkata, ‘Sesungguhnya Amirul Mukminin baru saja
terbunuh.’ Ali segera bangkit namun aku cepat menengahinya karena khawatir akan
keselamatan beliau. Beliau berkata, ‘Celaka kamu ini!’
Ali
segera menuju kediaman Utsman dan ternyata beliau telah terbunuh. Beliau pulang
ke rumah lalu mengunci pintu. Orang-orang mendatangi beliau sambil
menggedor-gedor pintu lalu menerobos masuk menemui beliau. Mereka berkata,
‘Lelaki ini (Utsman) telah terbunuh.
Sedang
orang-orang harus punya khalifah. Dan kami tidak tahu ada orang yang lebih
berhak daripada dirimu.’ Ali berkata, ‘Tidak, kalian tidak menghendaki diriku,
menjadi wazir bagi kalian lebih aku sukai daripada menjadi amir.’ Mereka tetap
berkata, ‘Tidak, demi Allah kami tidak tahu ada orang lain yang lebih berhak
daripada dirimu.’
Ali
berkata, ‘Jika kalian tetap bersikeras, maka bai’atku bukanlah bai’at yang
rahasia. Akan tetapi aku akan pergi ke masjid, barangsiapa ingin membai’at ku
maka silakan ia membai’atku.’ Ali pun pergi ke masjid dan orang-orang pun
membai’at beliau.”
* Nash-nash yang dinukil oleh
al-Imam Ibnu Katsir dari ath-Thabari dan sejarawan lainnya menegaskan keabsahan
bai’at khalifah rasyid yang keempat Ali bin Abi Thalib RA. Pembai’atan beliau
berlangsung atas dasar persetujuan anggota ahlul halli wal aqdi di Madinah.
Kemudian wilayah-wilayah Islam lainnya turut Membai’at beliau kecuali penduduk
Syam (yang gubernurnya saat itu Muawiyah), yang menahan bai’at hingga
dilakukannya qishash terhadap pembunuh Utsman.
*
Peristiwa terbunuhnya Utsman ini merupakan fitnah pertama bagi kaum Muslimin,
sebab membuat terjadinya perang saudara yang tragis di antara para sahabat
Nabi, seperti Perang Unta dan Perang Shiffin ketika Ali terpaksa mengerahkan
pasukan ke Syam untuk menundukkan Muawiyah.
*
Dalam Perang Shiffin, sebuah wilayah antara Kufah dan Syam, pasukan Ali hampir
saja mengalahkan pasukan Muawiyah, namun kemudian pasukan Muawiyah mengangkat
mushaf Alquran di atas lembing, dan mengajak untuk bertahkim. Pasukan Ali pun
terpecah melihat tawaran ini, sebagian menerima, sebagian menolak. Akhirnya
tahkim diterima.
* Pada
peristiwa tahkim di Daumatul Jandal, berlangsung diplomasi yang dimenangkan
kubu Muawiyah yang diwakili Amr bin Ash. Sebab, utusan Ali, yaitu Abu Musa
al-Asy’ari, mengaku telah bersepakat bersama Amr bi Ash untuk memecat Ali
maupun Muawiyah sebagai khalifah, untuk kemudian menyerahkan kepada umat untuk
memilih khalifah yang baru.
Tapi,
Amr bin Ash kemudian menyatakan menerima pemecatan Ali seperti yang dikatakan
Abu Musa, lalu menetapkan Mu’awiyah menggantikan Ali sebagai khalifah. Proses
tahkim yang pada awalnya semata untuk urusan pembunuhan Usman, kemudian menjadi
proses politik pengambilalihan kekuasaan.
* Ali
saat itu pulang ke Kufah, dan mengatakan jika dia menyerahkan kepemimpinan
kepada rivalnya di Daumatul Jandal, maka mereka akan memperlakukan kaum Muslimin
sebagaimana Heraclius (Kaisar Romawi) dan Kisra. Dan, Ali pun berpidato untuk
membangkitkan semangat rakyat untuk menyerang Syam, namun saat itu tidak
mendapat sambutan, dan terjadi fitnah Khawarij yang membuat situasi kian sulit,
hingga berujung wafatnya Ali.
Pemilihan Hasan
bin Ali
Pergantian
khalifah seperti model pertama sebab Ali yang menjelang wafat —setelah ditikam
oleh Ibnu Muljam—enggan membuat wasiat untuk memilih penggantinya seperti yang
dilakukan Abu Bakar, maupun membuat panitia seperti halnya Umar. Berikut
prosesnya:
*
Ketika Ali sedang terbaring menjelang ajal, ada yang meminta Ali membuat wasiat
orang yang akan mengganti kannya, namun Ali berkata, “Tidak! Aku akan
membiarkan kalian sebagaimana Rasulullah SAW meninggalkan kalian.
Apabila
Allah SWT menghendaki kebaikan atas kalian maka Allah SWT akan menyatukan
kalian di bawah kepemimpinan orang yang terbaik dari kalian sebagaimana Dia
telah menyatukan kalian di bawah kepemimpinan orang yang terbaik dari kalian
sepeninggal Rasulullah SAW.”
*
Selanjutnya, kaum Muslimin membai’at Hasan. Yang pertama membai’atnya adalah
Qais bin Sa’ad. Qais berkata kepadanya, “Ulurkanlah tanganmu, aku akan
membai’atmu atas dasar Kitabullah dan Sunnah nabi-Nya.” Hasan hanya diam. Qais
membai’atnya lalu diikuti oleh orang banyak sesudahnya.
Peristiwa
itu terjadi pada hari wafatnya Ali bin Abi Thalib RA. Qais yang saat itu
merupakan amir Azerbaijan membawahi 40 ribu tentara, dan mendorong Hasan
memerangi Syam yang menolak tunduk pada khalifah.
*
Hasan sempat mengerahkan pasukan dalam jumlah besar menuju Syam, namun
pasukannya kemudian tercerai berai, dan Hasan sempat hampir terbunuh. Kemudian,
Hasan menulis surat kapada Muawiyah –yang saat itu sudah berangkat dengan
pasukan dari Syam— untuk berdamai.
Selanjutnya,
agar tidak lagi terjadi perang saudara antarsesama Muslim, Hasan menyerahkan
kekhalifahan kepada Muawiyah dengan sejumlah syarat yang kemudian dipenuhi.
Saat itu, tahun 41 Hijriyah, kemudian dina makan sebagai Tahun Jamaah, karena
suara kaum Muslimin akhirnya bulat untuk Muawiyah dan dia pun menjadi khalifah
berkedudukan di Damaskus.
Periode Kerajaan
*
Menjelang akhir hayatnya, Muawiyah berkeliling ke Irak, Syam, dan berbagai
kawasan lainnya mengumpulkan bai’at untuk puteranya, Yazid, sebagai khalifah
penggantinya. Mu’awiyah juga men datangi Madinah dan Makkah, tempat di mana
para sahabat Nabi. Di Madinah, Muawiyah mendapat tanggapan dingin, kemudian dia
menuju Makkah.
* Di
Makkah, menanggapi permintaan Muawiyah, Abdullah bin Zubair menyodorkan tiga
pilihan. Pertama, Muawiyah tidak perlu menunjuk pengganti seperti yang
dilakukan Nabi, sehingga kemudian akan dipilih khalifah sebagaimana Abu Bakar.
Kedua,
meniru cara Abu bakar dengan membuat wasiat menunjuk khalifah yang bukan dari
kerabatnya. Ketiga, meniru Umar dengan mem bentuk panitia enam untuk
memusyawarahkan siapa yang akan men jadi khalifah.
* Saat
Muawiyah menanyakan kepada para sahabat lainnya, mereka semua sepakat dengan
yang dikatakan Ab dullah bin Zubair. Namun, Muawiyah kemudian justru menyandera
mereka, lalu memasuki masjid dan mengumumkan bahwa dalam musyawarah dengan para
pemuka kaum Muslimin, mereka telah rela membai’at Yazid.
Dan,
karena tak ada ruang bagi protes, maka saat itu berlangsunglah bai’at atas
Yazid. Bai’at yang dilakukan tanpa kebebasan ber bicara dan kebebasan memilih
itu kemudian mengakhiri sistem khilafah rasyidah, berganti dengan kerajaan
turun temurun (dinasti), meskipun tetap sistem kekuasannya tetap mereka namakan sebagai
khilafah. (Al Bidayah wa al Nihayah)
Komentar
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan pesan Anda